Menurut gw, orang Indonesia itu basa-basinya ngga jauh-jauh dari urusan ranjang. Kalau orangnya masih muda, biasanya ditanya sudah berkeluarga atau belum. Kalau ketahuan jomblo, langsung dikejar kapan nikah. Kalau sudah nikah, berlanjut ke urusan kapan mau punya momongan. Kalau anak baru satu, lantas lanjut ke pertanyaan kapan mau anak kedua, ketiga dst. Anaknya perempuan semua, digoda untuk punya anak lelaki, begitu sebaliknya.
Gw sih sudah kebal menghadapi pertanyaan kapan mau punya anak lagi. Dalam ilmu ekonomi ada teori yang namanya Diminishing Marginal Utility. Bertambahnya kuantitas, bukan malah menambah kenikmatan/kualitas tetapi malah menguranginya. Seperti minum air di saat haus berat. Tegukan pertama mempunyai nilai tertinggi dibandingkan tegukan kedua, ketiga dan seterusnya.
Entah ya, sampai saat ini belum ada sama sekali keinginan buat tambah anak. Buat gw, semua orang harus bisa bercermin kepada dirinya masing-masing. Bertanya dan mengukur kemampuannya.
Anak bukan investasi.
Kadang atau banyak (?) orang tua yang menganggap anaknya sebagai investasi atau untuk balas budi. Tujuannya supaya kalau tua, ada yang merawat dan menghidupi. Mereka lupa bahwa anaknya tidak pernah meminta untuk dilahirkan. Kita yang menginginkan mereka ada. Maka, jangan berharap apapun kepada mereka. Bersyukur bahwa Tuhan mengabulkan keinginan kita untuk dikaruniai keturunan yang menjadi penerus kita di bumi ini.
Kalau sang anak nanti pergi jauh, tidak menetap dan berkumpul bersama orang tuanya. Ikhlaskanlah. Jangan belenggu kebebasannya demi ego orang tua.
Selama sang anak masih bersama-sama kita, nikmati setiap detiknya karena tak lama lagi, ia harus pergi meninggalkan sarangnya. Belajar sebanyak-banyak dari kehidupan. Bebaskan, beri kesempatan ia belajar, berkelana sebanyak-banyaknya.
Sumber Daya yang Terbatas.
Kita semua tahu bahwa sumber daya alam itu terbatas. Katakan kota A dengan sumber dayanya, ia hanya mampu menanggung 100,000 jiwa. Dengan 100,000 jiwa, penduduknya bisa menikmati pendidikan gratis, kesehatan gratis, subsidi untuk kebutuhan sandang, pangan, papan.
Sekarang jika jumlah penduduk di kota A naik 2, 3, 5 atau bahkan 100 kali lipat, kualitas hidup terpaksa dikorbankan. Sekolah mahal, biaya kesehatan mahal, susah dapat kerja, dll. Siapa yang salah?
Pendidikan dan bahasa Inggris.
Satu-satunya cara untuk meningkatkan taraf hidup adalah dengan pendidikan. Mau bermimpi jadi konglomerat dengan ijasah SD di jaman sekarang rasanya sangat konyol. Gw ngga bilang mustahil, karena Tuhan Maha Segalanya. Tapi kebanyakan orang, mereka yang berkecukupan rata-rata adalah mereka yang berpendidikan tinggi.
Hari gini, bahasa Inggris itu wajib dikuasai. Indonesia jauh tertinggal dibanding negara-negara tetangganya yang mengadopsi bahasa Inggris sebagai bahasa akademik dan bahasa bisnis. Buang jauh-jauh rasa bangga yang berlebihan terhadap bahasa Indonesia, sampai-sampai merasa tak perlu belajar bahasa Inggris di sekolah.
Di tempat gw sekarang, pekerjanya rata-rata berasal dari negara-negara yang berbahasa Inggris. Banyak suster, staff dan supir dari Filipina, staff IT dan pekerja-pekerja dari IPB (India, Pakistan, Bangladesh), pengajar dan peneliti dari negara-negara Barat bahkan banyak pelajar dari Cina. Indonesia hanya dikenal sebagai negara pengekspor pembantu. Bahkan pembantu dari Filipina bergaji lebih tinggi dari pembantu Indonesia. Alasannya karena mereka berbahasa Inggris.
Jujur saja kadang gw malu kalau ditanya negara asalnya. Rasa bangga gw pudar perlahan-lahan. Apa yang mau dibanggakan selain alam dan makanannya? Korupsi nomor wahid, kotor dan macet di mana-mana, mau ke mana-mana mesti pakai visa. Kadang-kadang rasanya mau ganti warga negara saja ;P
Kualitas pendidikan di Indonesia masih sangat rendah. Banyak yang tidak bisa baca-tulis. Tidak ada standar baku yang diterapkan di semua sekolah-sekolah di Indonesia. Harusnya banyak guru-guru dan dosen-dosen disekolahkan ke luar negeri. Banyak beasiswa disediakan untuk anak-anak berprestasi. Banyak dana riset digelontorkan kepada peneliti-peneliti di universitas. Berikan bonus kepada peneliti yang berhasil mempublikasikan hasil karyanya di jurnal-jurnal internasional yang bergengsi.
Sekolahkan anak di sekolah terbaik. Mahal? Sudah pasti. Itulah konsekwensi punya anak. Bayar les mahal? Tentunya. Lagi-lagi, ini konsekwensi punya anak. Maka dari itu, pikirkan baik-baik dari awal. Hendak menikah atau melajang. Hendak mempunyai anak atau berdua saja. Tulikan diri terhadap pendapat orang. Jangan ikut-ikutan. Bahagia itu dari diri kita, bukan orang lain yang mendiktenya.
KB dan adopsi.
Memang hak seseorang mau punya anak berapa pun. Tapi jangan harap gw bakal tersenyum manis kalau mendengar atau membaca tulisan seseorang yang pingin bercita-cita punya anak banyak. Syukur-syukur ngga pasang muka jutek ;P. Indonesia sudah kebanyakan penduduk!!! Lebih baik cita-cita mulia itu dialihkan kepada hal-hal lain yang jauh lebih mulia. Seperti mengadopsi anak-anak yatim piatu di panti-panti asuhan yang haus kasih sayang orang tua. Double rewards. Dapat anak dan dapat pahala.
Buat ibu-ibu dan bapak-bapak, yuk jangan malas ikut KB. Keluarga Berencana bukan berarti harus dua anak saja. Tetapi keluarga yang harus direncanakan dengan matang. Harus berencana bahwa si abang lulus dari Caltech. Bahwa si gadis lulus dari Harvard, bahwa si kakak lulus dari Delft, bahwa si bungsu lulus dari Aachen, dan sebagainya-dan sebagainya.
Keluarga yang harus berencana bahwa si abang, gadis, kakak dan bungsu terjamin hidupnya selama kuliah di sana, keluarga yang berencana bahwa bapak dan ibu bisa pensiun dengan tenang tanpa harus membebani hidup si abang, gadis, kakak dan bungsu.
Berat? iya. Pastinya lebih berat ketimbang mengangkat sarung. Jadi pikirkan semuanya masak-masak!